Rabu, 15 Februari 2012

Cara Pandang Pemikiran Ideologis Tentang: SITEM PENDIDIKAN ISLAM

Muchotim El-Moekry




Cara Pandang Pemikiran Ideologis
Tentang:
SITEM PENDIDIKAN ISLAM





Makalah Kuliah Umum
Mahasiswa PG. TPQ Darul Ulum Education Center
16 April 2011 pada semester Genap















PG. TPQ DARUL ULUM EDUCATION CENTER
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
Jl. Sunan No. Giri 48 Lamongan
Tahun 2011 M /1432 H
SITEM PENDIDIKAN ISLAM


Bangsa ini memiliki kualitas SDM yang rendah. Hal ini terlihat dari data mahasiswa baru (tahun 2008) di salah satu perguruan tinggi ‘terbaik’ di Indonesia, diperoleh gambaran sbb:
Tingkat Kecerdasan (IQ > 110) 79% Kemandirian 13% Usaha 67% Percaya Diri 11% Kepekaan 19% Kepemimpinan 4%. Dari data ini terlihat jelas bahwa mereka memiliki IQ yang tinggi, namun mereka tidak mandiri, tidak percaya diri, bahkan tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Potret generasi seperti ini tidak mampu menyelesaikan persoalan orang lain, apalagi persoalan negara. Yang mereka pikirkan hanyalah seputar dirinya. Jadi, wajar jika lulusan pendidikan di negeri ini hanya diposisikan sebagai buruh, bukan sebagai pencipta lapangan kerja. Ini artinya: Indonesia hanya berpredikat sebagai follower, bukan sebagai leader. Dapat dikatakan sistem pendidikan nasional saat ini telah gagal memproses generasi bangsa ini menjadi generasi cerdas dan mandiri.
Negeri-negeri muslim mengalami krisis generasi. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan sekular-materialistik yang diterapkan. Sistem pendidikan ini telah menghasilkan generasi yang lemah. Sosok-sosok seperti inilah yang telah menghantarkan kehancuran negeri-negeri Muslim ke dalam jurang kezaliman.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi kaum Muslim pada umumnya dan generasi Islam pada khususnya untuk mendapatkan gambaran dari sistem Pendidikan Islam yang bersifat komprehensif-integral, yang dapat diterima secara universal oleh umat manusia lainnya.




Pendidikan dalam Sistem Islam
Pendidikan bagi setiap Muslim merupakan kebutuhan dasar. Allah SWT telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu untuk dapat menyelesaikan permasalahan dirinya, keluarga, masyarakat dan negara.
Rasulullah saw. bersabda: Menuntut ilmu wajib atas setiap Muslim (HR Ibnu Majah).
Dalam hadis lain dikatakan, “Jadilah kamu orang berilmu, atau pencari ilmu, atau pendengar (ilmu), atau pecinta (ilmu)j jangan menjadi yang kelima (orang bodoh) nanti kamu binasa.” (Lihat: Al-Fathul Kabir, I/204).
Dari hadis di atas, di dalam Khilafah tidak akan muncul peluang timbulnya kebodohan di kalangan kaum Muslim. Sebab, negara memiliki kewajiban untuk melahirkan generasi yang berkualitas yang secara hakiki mengambil ideologi Islam sebagai asas kehidupannya. Generasi ini telah memajukan peradaban Islam di muka bumi selama lebih 13 abad.

Tujuan Umum Pendidikan.
Dalam menyusun kurikulum dan materi pelajaran terdapat dua tujuan pokok pendidikan yang harus diperhatikan:
1. Membangun kepribadian islami, pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat, yaitu dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran dan perilaku islami ke dalam akal dan jiwa anak didik.
2. Mempersiapkan anak-anak kaum Muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, peradilan dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain). Ulama-ulama yang mumpuni akan membawa negara Khilafah dan umat Islam untuk menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia, bukan sebagai pengekor maupun agen pemikiran dan ekonomi negara lain.

Output Pendidikan Islam.
Output pendidikan Islam adalah lahirnya individu-individu terbaik yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam serta jiwa kepemimpinan baik pada skala individu, komunitas bahkan skala bangsa/negara.
Kaum Muslim diposisikan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik (QS Ali Imran [3]: 110). Karena itu Khilafah wajib menyiapkan generasi terbaik (khayru ummah) agar dapat memimpin bangsa-bangsa lainnya. Gambaran generasi terbaik yang diinginkan adalah generasi yang memiliki: (1) kepribadian Islam; (2) Faqih fi ad-Din; (3) Terdepan dalam sains dan teknologi; dan (4) berjiwa pemimpin. Generasi inilah yang akan menjadi pengendali eksistensi negara menjadi negara mandiri, kuat, terdepan dan mampu memimpin bangsa-bangsa lainnya.
Berdasarkan output pendidikan ini, dibuat arah (tujuan) pendidikan, selanjutnya diturunkan di dalam kurikulum pembelajaran dan metode pembelajaran. Negara harus menyiapkan standar kurikulum, yakni kurikulum yang terintegrasi dengan akidah Islam yang disesuaikan dengan level berpikir (usia). Selanjutnya negara menetapkan metode pembelajaran yang baku dalam proses pembelajaran.

Kurikulum Pendidikan Islam.
Negara menetapkan kurikulum pendidikan berdasarkan akidah Islam. Sebab, akidah Islam menjadi asas bagi kehidupan seorang Muslim dan asas bagi negaranya. Maknanya, akidah Islam dijadikan standar penilaian. Kurikulum yang bertentangan dengan akidah Islam tidak boleh diambil atau diyakini. Negara harus memberlakukan kurikulumnya berdasarkan level berpikir (usia) anak agar anak dapat mengamalkannya dan anak didik tidak merasa terbebani.
Negara harus memberlakukan kurikulum yang sesuai untuk mencapai output pendidikan, yakni dengan cara membagi kurikulum menjadi: (1) kurikulum dasar, seperti tahfizh al-Quran dan bahasa (Arab, lokal, internasional); (2) kurikulum inti, seperti tsaqafah Islam (ilmu-ilmu keislaman, al-Quran, hadis, fiqih, dll);(3) kurikulum penunjang, seperti ilmu-ilmu terapan, matematika, dll.

Metode Pembelajaran.
Metode pengajaran yang benar adalah penyampaian (khithab) dan penerimaan (talaqqi) pemikiran dari pengajar kepada pelajar. Seorang pengajar harus dapat memberikan gambaran yang mendekati suatu realita kepada anak didik ketika menyampaikan suatu konsep atau ide sehingga realita tersebut dapat dirasakannya atau tergambar di benaknya. Dengan demikian mereka telah menerimanya sebagai sebuah pemikiran sehingga terdorong untuk mengamalkannya.
Instrumen terpenting dalam penyampaian atau penerimaan pemikiran pada proses belajar-mengajar adalah bahasa yang jelas maknanya dan mudah dipahami oleh anak didik sehingga setiap anak didik bisa memahami 100% setiap mata pelajaran.

Manajemen Pendidikan Islam.
Untuk mencerdaskan rakyatnya, negara perlu menata dan mengelola sistem pendidikan yang diadopsi agar tercapai output pendidikan Islam. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan dalam empat hal yakni:
1. Biaya pendidikan: bebas biaya.
2. Sarana dan prasarana pendidikan yang memadai seperti ruang kelas, perpustakaan, laboratorium sebagai tempat praktik secara langsung bagi anak-anak didik, dll agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik.
3. Penyediaan guru yang berkualitas. Gambaran guru yang berkualitas antara lain: (a) memiliki kepribadian Islam, guru akan menjadi model bagi anak-anak didiknya; (b) memahami potensi anak; (c) memahami perkembangan anak berdasarkan usia; (d) memahami arah dan target pembelajaran anak berdasarkan level berfikir (usia); (e) menguasai metode pembelajaran untuk menjadi rujukan perilakunya, (f) kreatif dan inovatif dalam teknik pembelajaran, sehingga anak menjadi senang belajar dan tanpa beban.
4. Penyiapan orangtua yang berkualitas. Negara harus mendorong dan memfasilitasi orangtua dalam meningkatkan kemampuannya dalam mendidik anaknya agar tercapai output pendidikan. Gambaran orangtua yang berkualitas antara lain: (a) memiliki kepribadian Islam, orangtua adalah orang pertama yang akan dicontoh oleh anak; (b) memahami potensi anak; (c) memahami perkembangan anak berdasarkan usia; (d) memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap proses pembelajaran anak terutama di usia pra-balig; (e) memberikan perhatian yang utuh terhadap perkembangan anak; (f) memberikan kasih sayang yang tulus kepada anak; (g) senantiasa memuliakan anak; (h) memahami arah dan target pendidikan anak berdasarkan level usia; (i) siap menjadi guru pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Dimulai sejak masa Rasulullah saw., pendidikan untuk rakyat menjadi kewajiban negara. Begitu juga pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang senantiasa berharap adanya SDM yang berkualitas di negaranya agar mereka dapat membantu mengatur urusan umatnya. Sebagai contoh Muadz bin Jabal yang dikenal sebagai individu yang berkapabilitas tinggi dalam memahami halal dan haram sampai-sampai beliau dinobatkan menjadi Hakim Agung pada usia 18 tahun. Sudah saatnya negeri ini dan negeri-negeri Muslim lainnya mengganti seluruh tatanan kehidupannya, termasuk pendidikan dengan Ideologi Islam, agar lahir secara massal generasi seperti Muadz bin Jabal, generasi yang berkualitas tinggi, yang mampu mengembalikan kemuliaan Islam dan kemuliaan kaum Muslim di seluruh dunia.
Robert L. Gullick Jr., dalam bukunya, Muhammad, The Educator, menyatakan: Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang…Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena—dari sudut pragmatis—seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik.
Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyâsah) yang diartikan sebagai ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara.
Berdasarkan pemahaman mendasar ini, politik pendidikan (siyâsah at-ta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan karakter dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, politik pendidikan dapat dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.
Sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi sekularisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme dimaksudkan untuk mewujudkan struktur dan mekanisme masyarakat yang sekular-kapitalis atau sosialis-komunis. Seluruh subsistem (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, politik luar, dan dalam negeri, hukum pidana, dll.) yang menopang masyarakat itu ditegakkan berdasarkan asas ideologi yang sama; bukan yang lain. Demikian pula dengan Islam; akan membangun masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideologinya. Model masyarakat yang diciptakannya tentu saja akan berbeda dengan masyarakat yang dibentuk oleh kedua sistem ideologi di atas.
Melalui pengamatan terhadap karakteristik ideologi tersebut, jejak-langkah sistem pendidikan yang berlangsung akan mudah dipahami. Sistem pendidikan sekular-kapitalis melahirkan strategi pendidikan sekular sehingga pada gilirannya akan menciptakan tipologi masyarakat sekular-kapitalis. Begitu pula sistem pendidikan sosialisme-komunis maupun Islam.
Walhasil, pemahaman tentang karakter ideologi ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang dianut akan menyebabkan pemahaman yang bias terhadap seluruh sistem yang dibangun. Hal itu berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan suatu sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya. Giliran berikutnya, sistem pendidikan yang dijalankan hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.
Pendidikan yang sekular-materialistik saat ini merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang didasarkan pada ideologi sekular, yang tujuannya sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya. Kedua, kerusakan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni: (1) lembaga pendidikan formal yang lemah; tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif.
Asas yang sekular mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya pada proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Guru/dosen sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen sendiri tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara islami turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik. Akhirnya, rusaklah pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Para orangtua juga tidak secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orangtua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Masyarakat, yang semestinya menjadi media pendidikan yang real, juga berperan sebaliknya, yaitu menegasikan hampir seluruh proses pendidikan di rumah dan persekolahan. Sebab, dalam masyarakat berkembang sistem nilai sekular; mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun tata pergaulan sehari-hari; berita-berita pada media masa juga cenderung mempropagandakan hal-hal negatif.
Oleh karena itu, penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Politik Pendidikan Islam
Pendidikan dalam Islam harus kita pahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai/ideologi Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi/akidah Islam.
Secara pasti, tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam arti, cara berpikirnya harus didasarkan pada nilai-nilai Islam serta berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Metode pendidikan dan pengajarannya juga harus dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.
Dalam kerangka ini, diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah (negara), terhadap perilaku peserta didik, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Rangkaian selanjutnya adalah tahap merealisasikannya sehingga dibutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi, dan berkesinambungan dengan tujuan di atas.
Kurikulum dibangun di atas landasan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islâm dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya, materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan serta dipahami cacat-cela dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Pada jenjang PT tentu saja dibuka berbagai jurusan, baik dalam cabang ilmu keislaman ataupun jurusan lainnya seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik, dll. Dengan begitu, peserta didik dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dengan model sistem pendidikan Islam seperti ini, kekhawatiran akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak akan terjadi. Dikotomi ilmu itu hanya terjadi pada masyarakat sekular-kapitalistik, tidak dalam masyarakat Islam. Generasi yang akan terbentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami nilai-nilai Islam serta berkepribadian Islam yang utuh.
Beberapa paradigma dasar bagi sistem pendidikan dalam Islam adalah sebagai berikut:
Prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan didasarkan pada akidah Islam. Tujuannya adalah membentuk sumberdaya manusia terdidik dengan ‘aqliyah islâmiyah (pola berpikir islami) dan nafsiyah islâmiyah (pola sikap islami).
Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan sehingga melahirkan amal salih dan ilmu yang bermanfaat. Perhatikan bagaimana al-Quran mengungkapkan tentang ahsanu ‘amalan atau amalan shâlihan (amal yang terbaik atau amal shalih).
Pendidikan ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimaliasi aspek buruknya.
Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Teladan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian, Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia.
Adapun strategi dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dapat kita lihat dalam kerangka berikut ini: Tujuan utama ilmu yang dikuasai manusia adalah dalam rangka untuk mengenal Allah Swt. sebagai al-Khaliq, mengagungkan-Nya, serta mensyukuri seluruh nikmat yang telah diberikan-Nya.
Ilmu harus dikembangkan dalam rangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah Swt. semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapa pun tanpa pandang bulu. Ilmu yang dipelajari ditujukan untuk menemukan keteraturan sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta. Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil manfaat dalam rangka ibadah kepada Allah Swt. karena Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau di bumi untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu yang dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak ditujukan dalam rangka menimbulkan kerusakan di muka bumi atau pada diri manusia itu sendiri.

Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:
Kepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim, yaitu keteguhan dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang berpijak pada akidah Islam. Paling tidak, terdapat tiga langkah untuk membentuk kepribadian Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
1. Menanamkan akidah Islam sebagai sebagai ‘aqîdah ‘aqliyah—akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam—kepada setiap orang.
2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqamah kepada setiap orang agar cara berpikir dan kecenderungan insaninya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
3. Mengembangkan kepribadian dengan senantiasa mengajak setiap orang bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah Islâmiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu berorientasi pada ketaatan kepada Allah Swt.

Menguasai tsaqâfah islâmiyah dengan handal.
Islam mendorong setiap Muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: (1) ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap Muslim seperti: ilmu-ilmu tsaqâfah Islam yang terdiri konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah Nabi, Ulumul Quran, tahfîdz al-Quran, Ulumul Hadits, ushul fikih, dll; (2) ilmu yang dikategorikan fardhu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik,dll.

Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK).
Menguasai PITEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian Muslim apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yaitu: (1) pengetahuan yang mengembangkan akal manusia sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu; (2) pengetahuan mengenai perbuatan itu sendiri.
Allah Swt. telah memuliakan manusia dengan akalnya. Allah menurunkan al-Quran dan mengutus Rasul-Nya dengan membawa Islam agar beliau menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Pada sisi yang lain, Islam memicu akal untuk dapat menguasai PITEK karena dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan. Dalam kitab Fath al-Kabîr, juz III, misalnya, diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir, terutama alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan benteng lawan.

Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdayaguna.
Penguasaan keterampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan umat Islam dalam rangka pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash yang mengisyaratkan setiap Muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum dan keterampilan. Hal ini dihukumi sebagai fardhu kifayah.

Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan; negara wajib mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda: Seorang imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar yang ingin bebas untuk mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah sebagai tebusan atas diri mereka. Menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (kas negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, dengan tindakan membebankan pembebasan tawanan Perang Badar pada Baitul Mal (kas negara)—dengan memerintahkan mereka mengajarkan baca tulis—berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan. Dengan kata lain, beliau memberi upah kepada para pengajar itu (tawanan perang) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik kas negara.
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam, kita akan melihat perhatian para khalifah (kepala negara) yang sangat besar terhadap pendidikan rakyatnya; demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Sebagai contoh, Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadhiyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).

Fakta menunjukkan kepada kita bahwa perhatian para kepala negara kaum Muslim (khalifah) bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan, para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama, Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan, para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad ke-6 Hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Media pendidikan adalah segala sarana dan prasarana yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan pendidikan. Dengan demikian, majunya sarana-sarana pendidikan dalam kerangka untuk mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Oleh sebab itu, keberadaan sarana-sarana berikut harus disediakan: Perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya di luar yang dimiliki sekolah dan PT untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai bidang ilmu, baik tafsir, hadits, fikih, kedokteran, pertanian, fisika, matematika, industri, dll sehingga hanya tercipta para ilmuwan dan mujtahid.
Mendorong pendirian toko-toko buku dan perpustakaan pribadi. Negara juga menyediakan asrama, pelayanan kesehatan siswa, perpustakaan dan laboratorium sekolah, serta beasiswa bulanan yang mencukupi kebutuhan siswa sehari-hari. Keseluruhan itu dimaksudkan agar perhatian para siswa tercurah pada ilmu pengetahuan yang digelutinya sehingga terdorong untuk mengembangkan kreativitas dan daya ciptanya.
Negara mendorong para pemilik toko buku untuk memiliki ruangan khusus pengkajian dan diskusi yang dipandu oleh seorang alim/ilmuwan/cendekiawan. Pemilik perpustakaan pribadi didorong memiliki buku-buku terbaru, mengikuti diskusi karya para ulama dan hasil penelitian ilmiah cendekiawan.
Sarana pendidikan lain seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dll yang dapat dimanfaatkan siapa saja tanpa mesti ada izin negara. Negara mengizinkan masyarakatnya untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, mengudarakan radio dan televisi; walaupun tidak berbahasa Arab, tetapi siaran radio dan televisi negara harus berbahasa Arab. Negara melarang jual-beli dan ekspor-impor buku, majalah, surat kabar yang memuat bacaan dan gambar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Negara juga melarang acara televisi, radio, dan bioskop yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Negara berhak menjatuhkan sanksi kepada orang atau sekelompok orang yang mengarang suatu tulisan yang bertentangan dengan akidah Islam. Seluruh surat kabar dan majalah serta pemancar radio & televisi yang sifatnya rutin milik orang asing dilarang beredar dalam wilayah Khilafah Islamiyah. Hanya saja, buku-buku ilmiah yang berasal dari luar negeri dapat beredar setelah diyakini di dalamnya tidak membawa pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
Demikian pemaparan politik pendidikan Islam, sangat jelas keunggulan sistem pendidikan Islam yang diatur oleh syariat Islam. Dengan bersikap obyektif terhadap syariat Islam, seharusnya manusia yang jujur, berpikir, dan memiliki nurani jernih akan kembali ke pangkuan syariat Islam. Wallâhu a‘lam.

Apakah anda ragu dengan sistem pendidikan Islam?
Di tengah kebingungan dan kegagapan kita memilih sistem pendidikan yang terbaik untuk umat ini, maka sudah saatnya kita memilih Sistem dan Strategi Pendidikan Islam. Terlalu mahal biaya yang harus ditanggung oleh umat dengan diterapkannya sistem pendidikan sekulerisme. Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas, aids/hiv, kriminalitas, bahkan korupsi. Yang kesemuanya dilakukan oleh generasi – generasi yang telah dididik oleh bangsa ini dengan paradigma sekulerisme. Memisahkan agama dari kehidupan, memisahkan Islam dari pengelolaan pendidikan. Munculnya lembaga pendidikan Islam, adalah bukti kebutuhan umat akan pendidikan Islamy ( yang tidak dilayani oleh negara), dan juga bukti ketidakpercayaan ummat atas pendidikan sekulerisme dijalankan oleh negara. Sudah saatnya ummat dan bangsa ini kembali kepada Sistem Kehidupan Islam, yang akan mengantarkan kepada keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, PT, Rosda Karya, Bandung, 2008
----------------, Filsafat Ilmu, PT. Rosda karya, Bandung, 2009
Imam Nawawi, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Maktabah Shahabah, Qathar, 1987
Hamzah Dzaib, dkk, At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, Wazaroh al-ma’arif watta’lim al-‘aly daulah Paletin, 2006
Sa’id Isma’il Ali, Ushulul Fiqhi At-Tarbawi al-Islamy, Assunnah An-Nabawiyyah, Darul Fikri Al-Araby, 2006 – darulfikrialarobi.com.
Yusuf Hathir Husni al-Shury, Asalibu Ar-Rosul fid Da’wah wat Tarbiyyah, Shunduq at-takaful, 1991
Khalid Ibn Hamid Al-Hazimy, Ushulu al-Tarbiyyah Al-Islamiyah, Daru ‘Alim AL-Kutub, Saudi Arabia, 2000.
Abu Lubabah Husain, At-Tarbiyyah Fus Sunnah An-Nabawiyyah, Dar al-Liwa, Riyad, 1977.
Ali Ibn Naif As-Syahud, Asasu Binai Syahshiyyah At-Thifli Al-Muslim, Darul Ma’mur Malaysia, 2009
Jamal Abdur Rahman, Athfalul Muslimin, Kaifa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amin, Dar-Thaibah Al-Hadra, Makkah, 2004.
Hamin Bakr Al-Ulyan, At-Tarbiyyah Wat-Ta’lim fid Daulah Islamiyyah hilala al-qorni 14, Daru Al-Anshor, Kairo, 1981.
Muhammad Ibn Jamil Az-Zainu, Kaifa Nurabbi Auladana, Ma’had Darul Hadits, Makkah, tt
Ahmad Fuad Al-Ahwani, At-Tarbiyyah Fil Islam, Darul Ma’arif, Mesir, tt

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com